Berawal dari rencananya Tori dan Sidiq untuk mendaki Merbabu bareng temen-temen 2008, akhirnya malam tahun baru menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk merealisasikannya. Setelah meng-sms beberapa teman 2008 yang berpotensi mau dan bisa untuk diajak mendaki gunung, hanya 5 orang yang mau ikut, saya, Erni, Sidiq, Tori, dan Fajar. H-2 keberangkatan Sidiq sms bahwa bang Edwi mau ikut. Nggak masalah, meski angkatan 2007 tapi Bang Ed kan bolo dewe ^^.
Pendakian kali ini emang agak rempong, mulai dari kordinasi sampai keberangkatannya. Awalnya kami merencanakan untuk berangkat pagi, setengah 8 pagi kumpul di rumah Tori. Sehari sebelum hari-H, ada kabar Erni harus ikut tes di FK dulu. Keesokan harinya ada sms dari Sidiq, ‘kita berangkat jam 12 tepat, teko ra teko tinggal.’ Pada kenyataannya ini juga omong kosong belaka. Sekitar jam 1 saya dan Erni masih menunggu mereka yang nggak segera keluar dari GIC, belum lagi masih mau mampir makan siang di rumah Tori. Akhirnya, jam setengah 3, saat hujan masih cukup deras, kami berangkat meninggalkan rumah Tori. Perjalanan kami adem ayem saja sampai tiba-tiba Tori dan Sidiq berhenti setelah melewati Pasar Cepogo. Surprisseeeee, tendanya ketinggalan di Pom bensin. Buseet, udah sampai Cepogo, hanya tinggal beberapa menit lagi nyampe Selo, mereka berdua baru menyadari kalau tendanya ketinggalan. Tori dan Sidiq kembali ke Solo mengambil tenda sedangkan kami berempat di suruh duluan ke atas. Edwi dan Fajar langsung memacu motor kembali, apesnya saya dan Erni terjatuh dari motor saat mau membelok mengikuti Fajar dan Edwi (yang ternyata dengan teganya nggak nungguin saya dan Erni). Yaah, berbekal Bismillah Saya dan Erni hanya mengikuti jalan, melajukan motor sesuai dengan arah atau petunjuk jalan. Berhenti kebingungan karena nggak tahu letak basecamp Merbabu, jatuh lagi di persipangan jalan :D, Hp mati sehingga nggak bisa menghubungi siapapun. Kami Mencoba mencari makhluk bernama Fajar dan Edwi ke pasar Selo. Nihil. Baiklah, harus mengandalkan diri sendiri. Akhirnya saya bertanya pada seorang bapak di pasar Selo, beliau menunjukkan arah kemana kami harus berbelok. Sayangnya, ancer-ancer dari si Bapak tidak tidak cukup memberi jalan terang. Ya sudah, ngikutin insting saja-lah.
Alhamdulillah, dengan terlunta-lunta akhirnya kami sampai di basecamp dan melihat dua muka tanpa dosa sudah ada di sana, bener-bener merasa nggak berdosa meninggalkan dua wanita yang nggak tahu jalan ini meraba-raba jalan ke basecamp. Setelah ngomelin Fajar dan Edwi, kami memutuskan nyantai di basecamp sembari menunggu Tori dan Sidiq datang.
Setengah 6 akhirnya dua orang yang ditunggu Alhamdulillah datang dengan sehat dan selamat. Setelah sholat maghrib kami berenam berangkat mendaki, diawali dengan berdoa bersama. Belum ada tanda-tanda mengkhawatirkan sebelum akhirnya menyadari Tori benar-benar salah kostum dan melakukan kesalahan fatal dengan sandal syiria-nya. Haha, derita ditanggungnya sendiri. Sampai pos 1 aman, menuju pos 2 jalannya mulai cihui, menuju pos 3 semakin cihui dan Tori semakin sering jatuh, menuju pos 4 pemandangannya Asyik banget. Di perjalanan menuju pos 4 inilah kami menikmati pergantian tahun, memulai 2014 dengan duduk di antara ilalang menatap kota-kota di bawah dan pesta kembang api dari ketinggian merbabu, awesome banget deh pokoknya .
Rencana nge-camp di pos 5 dicancel karena cuaca dan kondisi fisik. Akhirnya kami nge-camp di pos 4. Cowok-cowok mendirikan tenda, saya dan Erni nunggu barang-barang. Dalam kondisi telapak kaki, telapan tangan, dan bibir yang semakin kaku karena tamparan angin, sempet-sempetnya curhat-curhatan, haha. Setelah satu tenda berdiri saya dan Erni masuk duluan, mencoba memejamkan mata dalam kondisi kedinginan yang luar biasa. Di tenda, saya dan Erni tidur nggak tidur, merem tapi tetep menggigil, nggak bisa ngapa-ngapain meski kami menyadari tenda kami roboh. Paginya baru dibetulin sama Sidiq dan Edwi.
Setelah tenda berdiri lagi dan semua sudah bangun, rutinitas pagi kami di Merbabu adalah masak, makan, ngopi, curhat, ngmongin play list, ngomongin cinta, lalalala, menunggu hujan dan kabut agak mereda untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Akhirnya jam 11 siang meski hujan belum reda kami memutuskan untuk naik, hanya Fajar yang tinggal di tenda. Dengan berjas hujan dan berbekal air minum satu botol kami berjalan berlima. Perjalanan ke puncak ini sangat menguras energi, hujan, badai yang semakin cihui, ditambah medan becek yang menanjak. Lebih sering merambat daripada berjalan tegak. Tori yang sudah nggak pake sandal syiria aja msh sering ngglundung. Saya, Erni, dan Bang Edwi juga berkali-kali ngglundung. Sampai di pos 5 Sidiq menunjukkan medan yang akan kami lalui lebih cihui lagi. Baiklah, kami bertekad menaklukkannya, seperti apapun medannya. Satu dua tanjakan terlalui, ngglundung lagi, kepleset lagi,bangun lagi, nanjak lagi. Dingin dan angin masih menampar-nampar sejak pagi. Belum ada matahari mengintip meski hari sudah sesiang itu. Erni hampir menyerah, “turun nggak sanggup naik nggak sanggup”, katanya. Tapi itu hanya ceracau, kami masih terus melangkah. Sampai akhirnya, Sidiq yang berjalan di depan kami, tepat di depan tulisan 250 meter kenteng songo, memutuskan untuk stop. Kabutnya parah, bener-bener nggak bisa ngeliat apapun yg ada di depan. Nyesek, hanya tinggal 250 m lagi tapi kami gagal nyampe puncak. Ya sudah, puas foto-foto di sini saja, anggap saja ini puncak tertinggi yang bisa kita gapai hari ini sembari berdoa semoga ada kesempatan lagi untuk bersama menapak puncak tertingginya.
Kembali turun, medan semakin ekstrim. Turunnya harus mengkombinasikan antara berjalan tegak, rambatan, dan meluncur perosotan. Badainya cihui lagi, saling berpegangan biar nggak kabur. Erni malah udah bilang, “ya Allah aku ikhlas jika harus mati di sini bersama kalian”, jalan lagi. Sampai kembali di pos 4, Fajar masakin kopi dan mie, makan, packing, dan siap-siap turun.
Selesai packing, berdoa bersama, dan mulai berjalan turun. Bismillah, tinggal ada 2 senter yang nyala, padahal diperkirakan kami sampai basecamp malem. Seperti biasanya, turun gunung lebih menyiksa daripada waktu naiknya. Ditambah Fajar dan Edwi yang lagi-lagi memutuskan mengambil jalan sidatan dengan medan yg ekstrimnya nggak manusiawi, apalagi buat saya yg saat itu sedang menstruasi hari kedua. Oke baiklah, perosoton lagi dari pos 4 sampai pos 3. Saya sudah pasrah, apapun yang terjadi terjadilah.
Dari pos 1 ke basecamp adalah perjalanan yang terasa sangat berat dan jauh. Medannya turun terjal, kondisi fisik sudah sangat lelah, dengkul udah kayak ilang, jalan sudah seperti pinguin. Dengan kondisi senter yang hanya tinggal dua, itu pun nyalanya sudah payah, kami berjalan pelan-pelan. Satu-satunya yang kami rindukan dan harapkan adalah plakat Perhutani yang menjadi tanda kami sudah dekat dengan basecamp.
Saat akhirnya melihat gapura pintu masuk, senengnya nggak karuan dan serentak mengucap Hamdallah. Istirahat sebentar dan ngobrol dengan bapak-bapak yang menanyakan tentang pendaki yang masih berada di atas. Kembali ke basecamp, istirahat dan ngeteh anget dulu, saya dan Erni bebersih badan dan ganti baju. Pukul 9 malam kami meninggalkan basecamp melaju menuju Solo. Mampir makan malam di Boyolali kota (ditraktir Bang Edwi tentu saja) lalu melanjutkan perjalanan. Menurunkan Erni di Bangak, menurunkan Tori di rumahnya, lalu saya megambil jalan berbeda dengan Sidiq, Fajar, dan Edwi. Jam dinding menunjukkan pukul 00.10 saat saya sms Tori dan Sidiq mengabarkan sudah sampai di rumah. Ngatuk, lelah, pegel, njarem, tapi seneng 😀
Nggak papa deh nggak nyampai puncak. Nggak papa deh, meski nyesek banget nggak bisa mencapai puncak tertinggi padahal tinggal sejengkal lagi. Esensi mendaki bukan sekedar keberhasilan mencapai panorama terindah di puncak tertinggi, tapi pada usaha dan tekad untuk mengalahkan keinginan untuk berhenti. Kegagalan muncak kali ini bukan karena kaki kami tak sanggup lagi melangkah tapi karena memang kehendak Allah begitu. Nggak tau apa yang akan terjadi kalo kami tetep nekat nanjak saat itu.
Begitupun resolusi. Saat menatap keindahan kota dan pesta kembang bersama kelima sahabat dari ketinggian Merbabu, saya punya resolusi yang saya azzamkan tercapai di tahun ini, untuk keluarga, untuk diri sendiri, dan untuk orang-orang di sekitar . Maka saat Fajar, Sidiq, Tori, dan Bang Edwi, janji akan lulus tahun ini, saya anggap aja sebagai salah satu resolusi mereka tahun ini, tercapai atau tidak yang terpenting adalah usaha yang hanya berhenti karena kehendak-Nya, bukan karena kita nggak punya tekad dan enggan melangkah. Pelajaran dari petualangan Merbabu kali ini euy . Maka saya pun merencanakan akan datang di wisuda atau paling tidak sidang skripsi mereka, di tahun ini .