2014: Merbabu dan Sebuah Resolusi

3333
Berawal dari rencananya Tori dan Sidiq untuk mendaki Merbabu bareng temen-temen 2008, akhirnya malam tahun baru menjadi waktu yang tepat bagi kami untuk merealisasikannya. Setelah meng-sms beberapa teman 2008 yang berpotensi mau dan bisa untuk diajak mendaki gunung, hanya 5 orang yang mau ikut, saya, Erni, Sidiq, Tori, dan Fajar. H-2 keberangkatan Sidiq sms bahwa bang Edwi mau ikut. Nggak masalah, meski angkatan 2007 tapi Bang Ed kan bolo dewe ^^.

Pendakian kali ini emang agak rempong, mulai dari kordinasi sampai keberangkatannya. Awalnya kami merencanakan untuk berangkat pagi, setengah 8 pagi kumpul di rumah Tori. Sehari sebelum hari-H, ada kabar Erni harus ikut tes di FK dulu. Keesokan harinya ada sms dari Sidiq, ‘kita berangkat jam 12 tepat, teko ra teko tinggal.’ Pada kenyataannya ini juga omong kosong belaka. Sekitar jam 1 saya dan Erni masih menunggu mereka yang nggak segera keluar dari GIC, belum lagi masih mau mampir makan siang di rumah Tori. Akhirnya, jam setengah 3, saat hujan masih cukup deras, kami berangkat meninggalkan rumah Tori. Perjalanan kami adem ayem saja sampai tiba-tiba Tori dan Sidiq berhenti setelah melewati Pasar Cepogo. Surprisseeeee, tendanya ketinggalan di Pom bensin. Buseet, udah sampai Cepogo, hanya tinggal beberapa menit lagi nyampe Selo, mereka berdua baru menyadari kalau tendanya ketinggalan. Tori dan Sidiq kembali ke Solo mengambil tenda sedangkan kami berempat di suruh duluan ke atas. Edwi dan Fajar langsung memacu motor kembali, apesnya saya dan Erni terjatuh dari motor saat mau membelok mengikuti Fajar dan Edwi (yang ternyata dengan teganya nggak nungguin saya dan Erni). Yaah, berbekal Bismillah Saya dan Erni hanya mengikuti jalan, melajukan motor sesuai dengan arah atau petunjuk jalan. Berhenti kebingungan karena nggak tahu letak basecamp Merbabu, jatuh lagi di persipangan jalan :D, Hp mati sehingga nggak bisa menghubungi siapapun. Kami Mencoba mencari makhluk bernama Fajar dan Edwi ke pasar Selo. Nihil. Baiklah, harus mengandalkan diri sendiri. Akhirnya saya bertanya pada seorang bapak di pasar Selo, beliau menunjukkan arah kemana kami harus berbelok. Sayangnya, ancer-ancer dari si Bapak tidak tidak cukup memberi jalan terang. Ya sudah, ngikutin insting saja-lah.

Alhamdulillah, dengan terlunta-lunta akhirnya kami sampai di basecamp dan melihat dua muka tanpa dosa sudah ada di sana, bener-bener merasa nggak berdosa meninggalkan dua wanita yang nggak tahu jalan ini meraba-raba jalan ke basecamp. Setelah ngomelin Fajar dan Edwi, kami memutuskan nyantai di basecamp sembari menunggu Tori dan Sidiq datang.

Setengah 6 akhirnya dua orang yang ditunggu Alhamdulillah datang dengan sehat dan selamat. Setelah sholat maghrib kami berenam berangkat mendaki, diawali dengan berdoa bersama. Belum ada tanda-tanda mengkhawatirkan sebelum akhirnya menyadari Tori benar-benar salah kostum dan melakukan kesalahan fatal dengan sandal syiria-nya. Haha, derita ditanggungnya sendiri. Sampai pos 1 aman, menuju pos 2 jalannya mulai cihui, menuju pos 3 semakin cihui dan Tori semakin sering jatuh, menuju pos 4 pemandangannya Asyik banget. Di perjalanan menuju pos 4 inilah kami menikmati pergantian tahun, memulai 2014 dengan duduk di antara ilalang menatap kota-kota di bawah dan pesta kembang api dari ketinggian merbabu, awesome banget deh pokoknya .

Rencana nge-camp di pos 5 dicancel karena cuaca dan kondisi fisik. Akhirnya kami nge-camp di pos 4. Cowok-cowok mendirikan tenda, saya dan Erni nunggu barang-barang. Dalam kondisi telapak kaki, telapan tangan, dan bibir yang semakin kaku karena tamparan angin, sempet-sempetnya curhat-curhatan, haha. Setelah satu tenda berdiri saya dan Erni masuk duluan, mencoba memejamkan mata dalam kondisi kedinginan yang luar biasa. Di tenda, saya dan Erni tidur nggak tidur, merem tapi tetep menggigil, nggak bisa ngapa-ngapain meski kami menyadari tenda kami roboh. Paginya baru dibetulin sama Sidiq dan Edwi.

Setelah tenda berdiri lagi dan semua sudah bangun, rutinitas pagi kami di Merbabu adalah masak, makan, ngopi, curhat, ngmongin play list, ngomongin cinta, lalalala, menunggu hujan dan kabut agak mereda untuk melanjutkan perjalanan ke puncak. Akhirnya jam 11 siang meski hujan belum reda kami memutuskan untuk naik, hanya Fajar yang tinggal di tenda. Dengan berjas hujan dan berbekal air minum satu botol kami berjalan berlima. Perjalanan ke puncak ini sangat menguras energi, hujan, badai yang semakin cihui, ditambah medan becek yang menanjak. Lebih sering merambat daripada berjalan tegak. Tori yang sudah nggak pake sandal syiria aja msh sering ngglundung. Saya, Erni, dan Bang Edwi juga berkali-kali ngglundung. Sampai di pos 5 Sidiq menunjukkan medan yang akan kami lalui lebih cihui lagi. Baiklah, kami bertekad menaklukkannya, seperti apapun medannya. Satu dua tanjakan terlalui, ngglundung lagi, kepleset lagi,bangun lagi, nanjak lagi. Dingin dan angin masih menampar-nampar sejak pagi. Belum ada matahari mengintip meski hari sudah sesiang itu. Erni hampir menyerah, “turun nggak sanggup naik nggak sanggup”, katanya. Tapi itu hanya ceracau, kami masih terus melangkah. Sampai akhirnya, Sidiq yang berjalan di depan kami, tepat di depan tulisan 250 meter kenteng songo, memutuskan untuk stop. Kabutnya parah, bener-bener nggak bisa ngeliat apapun yg ada di depan. Nyesek, hanya tinggal 250 m lagi tapi kami gagal nyampe puncak. Ya sudah, puas foto-foto di sini saja, anggap saja ini puncak tertinggi yang bisa kita gapai hari ini sembari berdoa semoga ada kesempatan lagi untuk bersama menapak puncak tertingginya.

Kembali turun, medan semakin ekstrim. Turunnya harus mengkombinasikan antara berjalan tegak, rambatan, dan meluncur perosotan. Badainya cihui lagi, saling berpegangan biar nggak kabur. Erni malah udah bilang, “ya Allah aku ikhlas jika harus mati di sini bersama kalian”, jalan lagi. Sampai kembali di pos 4, Fajar masakin kopi dan mie, makan, packing, dan siap-siap turun.

Selesai packing, berdoa bersama, dan mulai berjalan turun. Bismillah, tinggal ada 2 senter yang nyala, padahal diperkirakan kami sampai basecamp malem. Seperti biasanya, turun gunung lebih menyiksa daripada waktu naiknya. Ditambah Fajar dan Edwi yang lagi-lagi memutuskan mengambil jalan sidatan dengan medan yg ekstrimnya nggak manusiawi, apalagi buat saya yg saat itu sedang menstruasi hari kedua. Oke baiklah, perosoton lagi dari pos 4 sampai pos 3. Saya sudah pasrah, apapun yang terjadi terjadilah.

Dari pos 1 ke basecamp adalah perjalanan yang terasa sangat berat dan jauh. Medannya turun terjal, kondisi fisik sudah sangat lelah, dengkul udah kayak ilang, jalan sudah seperti pinguin. Dengan kondisi senter yang hanya tinggal dua, itu pun nyalanya sudah payah, kami berjalan pelan-pelan. Satu-satunya yang kami rindukan dan harapkan adalah plakat Perhutani yang menjadi tanda kami sudah dekat dengan basecamp.

Saat akhirnya melihat gapura pintu masuk, senengnya nggak karuan dan serentak mengucap Hamdallah. Istirahat sebentar dan ngobrol dengan bapak-bapak yang menanyakan tentang pendaki yang masih berada di atas. Kembali ke basecamp, istirahat dan ngeteh anget dulu, saya dan Erni bebersih badan dan ganti baju. Pukul 9 malam kami meninggalkan basecamp melaju menuju Solo. Mampir makan malam di Boyolali kota (ditraktir Bang Edwi tentu saja) lalu melanjutkan perjalanan. Menurunkan Erni di Bangak, menurunkan Tori di rumahnya, lalu saya megambil jalan berbeda dengan Sidiq, Fajar, dan Edwi. Jam dinding menunjukkan pukul 00.10 saat saya sms Tori dan Sidiq mengabarkan sudah sampai di rumah. Ngatuk, lelah, pegel, njarem, tapi seneng 😀

Nggak papa deh nggak nyampai puncak. Nggak papa deh, meski nyesek banget nggak bisa mencapai puncak tertinggi padahal tinggal sejengkal lagi. Esensi mendaki bukan sekedar keberhasilan mencapai panorama terindah di puncak tertinggi, tapi pada usaha dan tekad untuk mengalahkan keinginan untuk berhenti. Kegagalan muncak kali ini bukan karena kaki kami tak sanggup lagi melangkah tapi karena memang kehendak Allah begitu. Nggak tau apa yang akan terjadi kalo kami tetep nekat nanjak saat itu.
Begitupun resolusi. Saat menatap keindahan kota dan pesta kembang bersama kelima sahabat dari ketinggian Merbabu, saya punya resolusi yang saya azzamkan tercapai di tahun ini, untuk keluarga, untuk diri sendiri, dan untuk orang-orang di sekitar . Maka saat Fajar, Sidiq, Tori, dan Bang Edwi, janji akan lulus tahun ini, saya anggap aja sebagai salah satu resolusi mereka tahun ini, tercapai atau tidak yang terpenting adalah usaha yang hanya berhenti karena kehendak-Nya, bukan karena kita nggak punya tekad dan enggan melangkah. Pelajaran dari petualangan Merbabu kali ini euy . Maka saya pun merencanakan akan datang di wisuda atau paling tidak sidang skripsi mereka, di tahun ini .

Nasihat Kematian

Kullu nafsin dzaiqatul maut. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Beberapa hari ini, saya dibuat kaget oleh kematian 2 orang di sekitar saya. Ah ya, meski kematian memang sudah menjadi sebuah kepastian bagi setiap makhluk hidup, tapi tak jarang kita membutuhkan sejenak waktu untuk benar-benar bisa mempercayai kematian seorang atau kerabat kita. Mungkin itu yang saya alami saat ini.

Kematian adik di BEM, Asma Izzatuz Zahro, cukup membuat saya tercengang sesaat. Tak terduga, tak ada tanda-tanda, Allah akan secepat ini memanggilnya. Kecelakaan tunggal, menabrak trotoar ketika pulang dari pengakraban jurusan Sastra Arab di Tawangmangu. Kecelakaan tersebut hanya berjarak sekitar 1 Km sebelum kampus, tepatnya di depan UNSA Jurug. Dik Asma memang bukan adik organisasi yang dekat dengan saya namun saya cukup merasakan kehilangan. Seingat saya, saya baru 3x bertemu dan berbincang dengannya, itu pun hanya obrolan ringan, bukan obrolan berat atau curahan hati yang biasa adik-adik BEM saya lainnya sampaikan. Kepergian Asma di umur yang relatif masih muda, di umur produktif dimana ia sedang sangat bersemangat belajar dan menggali hal-hal baru, mungkin sedikit meninggalkan ketidakikhlasan bagi orang-orang dekatnya. Ia aktif di beberapa organisasi dan memiliki banyak teman. Sosoknya yang manis, cantik, supel, dan pering, tentu saja akan terus membekas di hati teman dan kerabatnya. Kepergian Dik Asma menjadi ‘kehebohan’ tersendiri di facebook hingga beberapa minggu setelah kepergiannya. Hampir setiap orang yang mengenalnya meninggalkan seberkas kenangan di media sosial yang paling banyak di gunakan ini. Selamat jalan Dik Asma, semoga dilapangkan jalanmu, sayang.

Kematian yang juga mengagetkan saya beberapa hari yang lalu adalah kematian saudara saya sendiri. Beliau adalah saudara dekat yang biasa saya panggil Bulik Tatik. Bulik Tatik ini adalah sepupunya ibu saya. Sekitar pukul 12.30 saya dikabari oleh simbah bahwa Bulik Tatik meninggal. Saya sempat tidak percaya, pasalnya pagi hari tadi saya masih bertemu dengan beliau saat sama-sama antri membeli lauk sarapan. “Ah jangankan tadi pagi, saat adzan dzuhur saja Bulik masih ndulang Yafi sama Jimmi” begitu kata simbah.

Seperti Dik Asma, bulik saya juga tidak sedang sakit sebelumnya. Beliau juga tidak sedang mengendara kendaraan dijalan. Beliau sedang berada di teras rumah ketika Malaikat Izrail menunaikan tugasnya. Kronologisnya, setelah ndulang keponakan saya, bulik saya makan siang di lincak yang ada di teras rumah. Setelah selesai makan, beliau tak segera mengembalikan piring yang digunakannya. Mungkin karena lelah dan ngantuk, beliau klekaran di lincak teras. Saat jamaah salat Dhuhur mulai meninggalkan masjid, saat itulah diketahui bahwa bulik saya sudah meninggal.

Kematian bulik hari itu memang sulit untuk dipercaya, mengingat pukul 11.00 bulik masih bercakap-cakap dengan tetangga depan rumah, bulik juga masih ndulang adik ponakan saya. Kematiannya seolah hanya berjarak dari adzan Dhuhur hingga jamaah shalat Dhuhur selesai. Ah, barangkali baru beberapa menit beliau memejamkan mata lalu Malaikat Izrail sudah menjemputnya.

Bulik saya meninggal di usia 44 tahun. Di usia ini Allah belum mempertemukannya dengan tulang rusuknya. Ya, bulik saya belum menikah hingga ia meninggal. Beliau merawat anak-anak dari adik-adiknya, beliau membatu pekerjaan ayah dan adik-adiknya. Beberapa hari sebelum kematiannya ia bercerita bahwa beliau pengen entuk arisan biar bisa buat Qurban. Niat yang mulai. Dan beruntung ia memang benar-benar mendapakan arisan. Meski beliau sudah tak ada, namun kambing yang disembelih di hari Idul Adha kemarin semoga menjadi catatan baik di buku amal yang akan melapangkan jalannya.

Kematian memang akan selalu menjadi misteri bagi kita. Kita tak pernah tahu kapan Izrail akan diperintahkan untuk menyapa kita. Satu hal yang saya ambil hikmah dari kejadian yang sangat mengagetkan ini adalah ‘masing-masing kita hanya menunggu waktu. Kapan kita akan menjadi penghuni sepetak tanah gelap gulita hanyalah soal waktu. Entah kapan Allah akan mengambil nyawa kita. Maka, berusaha menjadi makhluk yang senantiasa membaik dari waktu ke waktu adalah hal yang tak boleh bosan kita lakukan. Bukan soal bagaimana kelamnya masa lalu kita, namun soal bagaimana bisa menjemput khusnnul khatimah di masa depan. Ya, sebaik-baik nasihat adalah nasihat kematian.

Iseng yang Menghasilkan Hobi Baru

sabnn
Berawal dari foto karang taruna yang di tag di Fb, saya memiliki hobi baru yang menyenangkan. Foto itu adalah foto dari Balai Latihan Kerja Sukoharjo mengenai pelatihan angkatan kedua. Setelah melihat beberapa jurusan yang dibuka, saya memutuskan untuk ikut kelas tata boga alias memasak. Ahay, jurusan yang sangat ‘perempuan’. Dengan kesibukan yang cukup menyita selama ini, jujur sejujur jujurnya saya belum bisa masak, lebih tepatnya belum mau menyisihkan waktu untuk belajar memasak. Nah, mengingat pentingnya ketrampilan memasak untuk ‘masa depan’ , maka saya serius ikut kelas memasak di BLK Sukoharjo.

Setelah menjalani tes tertulis dan wawancara, saya dinyatakan lulus untuk menjadi peserta pelatihan di BLK angkatan 2. Pelatihan di BLK dilaksanakan setiap hari pukul 07.30 hingga pukul 13.30. Sebenanrnya saat itu saya agak ragu bisa menyelesaikan kelas memasak ini sampai akhir, mengingat saya masih mengambil 2 mata kuliah. Namun, saat wawaancara saya sudah menjelaskan mengenai aktivitas dan kesibukan saya sehari-hari. Beruntung instruktur kelas Boga sangat baik sehingga saya dibolehkan ijin saat ada jam kuliah. Alhamdulillah, itu berarti resikoku hanya tinggal bolak-balik Sukoharjo-kampus. Parahnya bukan Cuma hari Senin dan Selasa –hari kuliah- saja saya harus menempuh perjalanan ‘mulia’. Pernah beberapa kali saya harus bolak-balik seperti ini: pukul 07.00 saya berangkat dari rumah menuju BLK, lalu pukul 08.30 meluncur ke kampus untuk kuliah, pukul 11.00 balik lagi ke BLK, pukul 13.30 meluncur lagi ke kampus (dengan keperluan beragam), dari kampus ngajar di bimbel atau ngelesin di beberapa tempat hingga malam. Bukan soal lelah yang bikin saya nangis, Huaaa bensin oh bensin, mengapa haus sebegini borosnya . Jer basuki mawa beya, demi sebuah ilmu dan pengalaman baru aku bersemangat menjalani rutinitas baru.

Di kelas boga, kami ber-16, ada yang baru lulus SMP, ada yang baru lulus SMA, ada yang baru saja nikah, ada yang baru punya anak, ada pula yang baru punya cucu. Intinya, usia kami beragam. Instruktur kami begitu baik hati, namanya Pak Sriyono. Tidak hanya mengajari kami memasak, beliau juga mengajari dan me-wejangi kami banyak hal tentang hidup. Ya, beliau begitu mengispirasiku hingga saat ini.

Keisengan yang kusengaja itu pada akhirnya membuahkan sebuah hobi baru: memasak. Ternyata mamasak itu sungguh menyenangkan :D. Sudah berbagai macam resep saya coba, baik dari resep di internet maupun resep coba-coba sendiri. Mulai dari kue kering hingga olahan daging. Banyak pula orang yang sudah menjadi tester, mulai dari Evi sampai ibunya Tori. Dari hobi baru ini pula, muncullah sebuah produk bernama “uneekue” (akan ada ceritanya sendiri). Entah bagaimana rasanya masakanku, yang jelas saya menikmati hobi baru ini. Berharap akan segera ada kesempatan untuk membuatkan masakan untukmu makan siang di kantor .

8 Tempat Paling Favorit Selama Kuliah

Alhamdulillah, tanggal 17 Juli 2013 saya dinyatakan lulus (meski masih dengan syarat revisi skripsi). Pada awal bulan September saya meyerahkan skripsi yag telah saya jilid rapi kepada Mas Pur (Admin Sasindo) dan beliau menukarnya dengan nilai ujian skripsi. Kini, setelah semua proses rumit mengurus wisuda ini kelar, saya merenung. Mungkin tinggal beberapa waktu lagi saya akan meninggalkan kampus hijau ini, meninggalkan semua cerita dan kenangan yang ada selama lima tahun di sini. Tentu saja bukan perjalanan yang sepi cerita. Maka saat sore ini saya menyusuri jalanan UNS yang mulai sepi, saya teringat beberapa tempat yang selama ini menjadi tempat yang paling banyak memberikan kenangan. Inilah 8 tempat paling favorit (bukan) versi on the spot selama menempuh S.S.
1. Sekre BEM
BEM FSSR berdiri pada tanggal 4 Juli 2009. Itu berarti sejak
saya semester 2 hingga akhirnya purna tugas kepengurusan (awal
semester 9), sekre BEM adalah tempat yang paling sering saya
kunjungi. Sebelum masuk kuliah nongkrong di BEM, pergantian jam
kuliah nongkrong di BEM, selesai kuliah nongkrong lagi di BEM,
bahkan seringkali sampai malam masih di BEM. Kepentingan di
sekre BEM pun bermacam-macam, mulai rapat kepanitiaan, rapat
PHT, rapat Presidium, ngurusin acara, makan, ngerjain tugas,
minjem laptop, tidur, atau cuma sekedar nongkrong dan ngobrol
sama temen-temen. Nyatanya, sekre BEM adalah tempat yang paling
banyak merekam aktivitas saya selama lima tahun di UNS. Saat
bahagia, sedih, marah, nangis, semua pernah saya lewatkan di
sekotak ruang di lantai satu ini. Suasana pagi, siang, sore,
malam, tengah malam, dini hari, sampai pagi-pagi buta juga telah
saya nikmati di ruangan ini. Sungguh, kemana pun nanti kaki saya
melangkah, tempat ini tidak akan pernah saya lupakan seumur
hidup saya.

salah satu aktivitas di sekre: beberes

salah satu aktivitas di sekre: beberes

2. Ngarsopuro
Ngarsopuro, salah satu sudut kota solo yang kini mulai dibanjiri
anak muda, apalagi di malam minggu. Tempat ini adalah satu
tempat yang juga sering saya kunjungi. Tidak sampai mendarah
daging seperti sekre BEM memang, tapi beberapa momen indah yang
telah terjadi di tempat ini menempatkannya pada nomor ke dua
dari delapan tempat yang paling favorit selama lima tahun
terakhir. Saya masih menyimpan keinginan untuk bernostalgia di
tempat ini bersama seluruh tokoh cerita yang bersetting di
tempat ini. Lampu sangkar burung, suasana temaram, dan
jalanannya adalah suatu hal yang sangat saya nikmati di tempat
ini.

Sepulang njagong mampir Ngarsopuro :)

Sepulang njagong mampir Ngarsopuro 🙂

3. Halaman ISI
Halaman ISI, depan panggung terbuka ISI, juga menjadi tempat
favorit saya. Selama masih di BEM saya sempat beberapa kali
menghabiskan malam bersama beberapa orang yang berbeda di tempat
ini. Pada akhir masa studi dan setelah lulus tempat ini menjadi
lebih sering saya kunjungi, yang paling sering adalah bersama
Evi dan Bungsu, sesekali dengan Fkri, Dila Reski, Cuil, Sidiq,
dan Rida. Entah mengapa ada suasana yang asyik di tempat ini
sehingga saya pun sangat menikmati nongkrong di tempat ini.
KomplekISISolo2

4. Tiang Bendera dan Halaman Rektorat
Tiang bendera rektorat sebenarnya hanya sering saya kunjungi
ketika masih menjadi Presidium BEM FSSR. Di sini adalah tempat
yang paling asyik buat rapat presidium, rapat PHT, atau cm
nongkrong gaje sama temen-temen. Dulu saya dan Sidiq sempat
punya rencana untuk ngulukke layangan di halaman rektorat utuk
mengisi proker freeday, tapi sampai kami lengser rencana ini
belum terealisasi juga. Suasana asyik di tempat ini adalah saat
bisa melihat bulan dan menikmati langit malam dengan pemandangan
segilintir mahasiswa yang berlalu lalang di jalanan kampus.

hei mahasiswa UNS, coba deh sekali waktu  nikmati malami sini, awesome :D

hei mahasiswa UNS, coba deh sekali waktu nikmati malami sini, awesome 😀

5. Sekre SKI dan Gazebo
Sekre SKI pernah menjadi tempat yang selalu saya kunjungi
(sebelum ada sekre BEM). Setelah ada sekre BEM dan saya tidak
tercatat sebagai pengurus SKI, sekre SKI pun masih sering saya
kunjungi ketika saya benar-benar ngantuk dan butuh tidur (hal
yang tidak mungkin saya lakukan di sekre BEM). Di sekre SKI ini
pula saya tercatat sebagai pengurus selama 2 periode
kepengurusan.

6. Kosan Bungsu, Evi, dan Nur
Kosan ketiga sahabat saya itu adalah tempat favorit di urutan
enam. Kos mereka adalah basecamp saya. Terlebih ketika saya
lengser dari BEM, tidak ada lagi sekre yang biasanya menjadi
tempat pelarian, maka kos mereka adalah tempat yang menampung
saya selama di kampus. Pagi, siang, sore, malam, pintu mereka
selalu terbuka ketika kapanpun saya ingin datang dan menginap.

7. Depan Gedung 3
Depan gedung 3 adalah wifi area. Tempat ini mulai menjadi tempat
favorit ketika saya baru memulai aktivitas penyusunan skripsi
Di tempat inilah saya biasa menunggu dosen untuk konsultasi
juga bertemu atau janjian dengan temen-temen se-jurusan.

Nongkrong di Gedung 3 FSSR = Hotspotan

Nongkrong di Gedung 3 FSSR = Hotspotan

8. Bukit asem
Bukit asem adalah salah satu sudut di FSSR. Sebuah bukit yang
berada di sebelah timur Gedung 1 FSSR ini menjadi tempat favorit
untuk berbincang (rapat, sistensi, maupun diskusi).

Mungkin memang sudah banyak tempat dan kota yang sudah (dan akan) saya kunjungi, tapi kedelapan tempat di atas adalah tempat bersejarah selama saya kuliah 😀

Guru TK: Harmoni Kreativitas, Kesabaran, dan Ketulusan

setangkup senyum yang bisa kuabadikan

setangkup senyum yang bisa kuabadikan


Bersentuhan dengan dunia pendidikan anak mungkin sudah bukan hal yang baru bagi saya. Setidaknya saya pernah mengajar TPQ di masjid kampung sejak SMP (meski terputus ketika saya masuk kuliah), menjadi tentor privat di beberapa bimbingan belajar, dan menjadi pendaping Sekolah Kampung Bakti Saseru (meski bukan tokoh penting). Meski demikian, menjadi bagian dari sekolah Taman Kanak-Kanak adalah hal yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya memang tidak menjadi guru TK, tapi berkesempatan selama 1 bulan untuk belajar pada guru TK dan anak-anak TK tentunya.

Berawal dari kurangnya guru TK BA Aisyiah 4 Grogol, yang kebetulan letaknya ada di kampung tempat saya tinggal, kekurangan sumber daya guru. Saya dimintai tolong untuk membantu menyimak iqro’ anak-anak kelas B, dimana selama ini target dari Bu Nur Aini (wali kelas TK B) tidak tercapai. Saya pun mengiyakan dengan catatan hanya menyimak iqro’, bukan menjadi guru kelas, saya pun tidak menjanjikan bisa membantu dalam jangka waktu yang lama. Oke, saya dan bu Nur sepakat.

Maka mulai hari kamis, 21 Agustus 2013 saya mengawali rutinitas hari yang baru. Bangun lebih pagi dan mengusahakan untuk tidak tidur lagi selepas salat subuh. Pukul 07.15 saya sudah berangkat ke TK. Setiap pagi saya disambut dengan anak-anak yang berlarian ingin mencium tangan saya. Well, pemandangan yang saya temui sejak pukul 07.15 hingga pukul 09.30 adalah anak-anak yang masih benar-benar polos. Sungguh bahagia rasanya melihat anak-anak kecil ini bersemangat belajar, mengucap kosa kata dalam bahasa inggris yang pengucapannya terdengar menggelitik teliga, menyanyi dan melompat menirukan gerakan Bu Nur, senam pagi, menyusun balok, membantu temannya yang kesulitan menyelesaikan tugas, menangis karena bertengkar dengan temannya, rebutan kursi, dan tentu saja mengaji, membaca iqro’ bersama saya. Seperti anak-anak lainnya, sekeras apapun mereka menangis, seheboh apapun mereka bertengkar, itu hanya dalam hitungan menit. Tidak pernah ada sedikit pun sakit hati yang membekas di hati mereka, jauh berbeda dengan orang dewasa.

Baru satu minggu saya di sana, saya mulai hafal nama dan mengerti karakter serta pola belajar anak-anak yang saya ampu di kelas itu. Jujur, saya mulai menyayangi mereka. Lala dan Zulfa yang selalu berkompetisi menjadi yang terbaik, Banu yang harus saya gedong dulu untuk mau mengaji, Aya yang sering bergelendot di pundak saya, Rafi yang jarang sekali bisa menyelesaikan tugas. Ah, dimana-mana anak-anak iu selalu membawa fitrah yang menyenanangkan, hanya orang dewasalah yang selalu menganggap mereka nakal dan banyak ulah. Nyatanya, tidak ada kata nakal, tidak ada kata bodoh, semua tidakan mereka hanya didasari pada satu kata yang masih mereka jalani, ‘belajar’.

Disamping anak-anak yang menyenangkan, ada satu sosok yang membuat saya banyak belajar. Ya, tak lain tak bukan adalah wali kelas TK B, Ibu Nuraini, seorang ibu dengan dua orang anak, selama satu bulan ini telah memberi banyak pelajaran. Ia seroang guru TK yang dengan kesungguhan dan totalitasnya mengabdikan diri menjadi pendidik anak-anak ini. Saya selalu terkesan setiap kali beliau memulai hari mengajarnya. Beliau begitu kreatif, sabar, dan tulus. Beliau mengajari anak-anak dengan sangat eksprsif, tak segan melompat dengan tinggi ketika di salah satu lagu yang dinyanyikannya ada lirik melompat, beliau sabar meladeni setiap anak, mendidik dengan cara yang berbeda sesuai dengan karakter anak. Beliau tidak pernah datang ke sekolah melebihi pukul tujuh, tidak perah tidak terlibat dalam setiap kegiatan pembelajaran dan rapat-rapat yang menyangkut anak didiknya, menyayangi murid-muridnya dan membelai kepala setiap anak dengan rasa cinta dan kasih sayang sayang sama.

Guru TK, profesi yang jauh dari kata gengsi, profesi yang jauh dari sanjung dan bangga, tapi beliau menjalani profesinya dengan begitu tulus. Ya, beliaulah yag selama satu bulan ini menginpirasi dan memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Sungguh, meski saya tidak berencana untuk menjadi guru TK, tapi bahagia sekali bisa belajar dari guru TK sekeren bu Nur 

Merapuh

Tak usah kabari tentang cuaca mendung di kotaku

biarkan..

aku sedang menikmati sepasang bintang redup

yang berkedip bersisa mengayun seadanya di remah langit berkabut

tak mengapa kerling yang menipis menghambur

 

letih adalah keteguhan satu-satunya lukisan sepi

yang bertahan di kedua mataku

aku tetap menjadikan percikmu

 puisi yang paling tabah di drama tatapku

 

andai malam ini kaularut ingin kusampaikan

pesan kejauhan ini simpan saja dalam mimpiku

satu cahaya ketabahan di belukar kabut yang meliput

Selamat Ulang Tahun

 

 Image

boleh kucium keningmu puisiku?

mungkin terlalu cepat waktu bergegas ke kotamu

sesaat matahari merayapi lekuk tubuhku

yang berjarak tipis lekuk tubuhmu

 

aku tahu, padat berat rindu tak jua mau bergeser

dari sebaris mimpi berlapis-lapis

 dan ingin terus tenggelam di dalam kedalamannya

 

usah mencari tepian

biar saja tenggelam

biar saja meliat

biar saja rampung menjadi genggaman

sebelum matahari menarik keluar kaki-kaki waktu

 

usai..

menumbuhkan setunas senyuman di aroma pagimu

#selamat ulang tahun, semoga sellalu dalam dekap-Nya

Sidangku (bukan) Sidang Biasa

Akan ada waktunya skripsi berlalu :)

Akan ada waktunya skripsi berlalu 🙂

Seperti sebagian besar teman-teman, saya pun memprogramkan skripsi sejak semester delapan, meski sebenarnya saya baru benar-benar mengerjakannya di awal 2013. Itu artinya hampir tiga semester saya berkutat dengan skripsi. Memiliki pembimbing yang paling ‘wow’ di Jurusan memberikan banyak hikmah dan pelajaran bagi saya. Yahh, memang nano-nano rasanya menjadi mahasiswa tingkat akhir itu :D.

Alhamdulillah, saat pembimbing mengijinkan saya untuk sidang rasanya seperti angin segar yang berhembus menentramkan. Persiapan menghadapi sidang ternyata tidak sesimpel yang saya bayangkan, ditambah standart ISO yang diterapkan oleh UNS mulai 1 Juli 2013. Persyaratan dan alurnya terasa ruwet. Meski begitu, saya tetap bersemangat mempersiapkannya. Bagaimanapun juga ini adalah tahap akhir yang harus saya lewati di jenjang S1 ini.

Cerita-cerita mengerikan dan heroik dari teman-teman yg sudah sidang mewarnai otak saya. Tentu saja hal itu sudah dengan bumbu-bumbu yang beraneka rasa. Maka saya pun sibuk menerka-nerka siapa yang akan jadi penguji saya. Sejak beberapa hari sms dari Epil dan Bungsu sudah mendarat di ponsel saya, menannyakan apa yang bisa dibantu, menanyakan persiapan, dan memberikan semangat tentu saja. Kegalauan itu terasa sangat nyata malam sebelum ‘hari eksekusi’, ketika sebuah sms mampir di ponsel saya, ‘Farida, kenapa skripsimu belum ada tanda tangan pembimbing dan Ketua Jurusan?’ Itu adalah sms dari dosen pembimbing yang sekaligus Ketua Jurusan Sastra Indonesia. Huaaaa, apa-apaan ini. Penyakit pelupa saya sudah begitu mengenaskan ternyata, sampai-sampai minta tanda tangan untuk pengesahan skripsi pun saya juga lupa. Konsentrasi belajar yang sudah sedikit buyar semakin buyar, mengingat para penguji sedang mempelajari skrispsi saya malam ini maka tambah buyarlah segalanya.

Yang jelas saya hanya bisa berdoa dan mengulang lagi materi-materi yang kemungkinan besar akan ditanyakan oleh penguji. Selebihnya, biar kehendak-Nya yang akan terjadi.

Pagi dini hari setelah sahur ada sms masuk di ponsel saya.
Selamat dan semangat untuk pendadaran hari ini. Dari Jakarta kita doakan.

Sms dari Ambon mengawali optimisme saya. Saya mengamini takzim. Menjelang pukul tujuh ponsel kembali berbunyi, kali ini dari Nisa.

Mba Far, semangat ya buat hari ini. maaf aku belum bisa datang, aku masih di Jogja soalnya  Aku doain dari sini semoga sukses pendadarannya. Semangat mbak :3

Subhanallah, bahagianyaa didoakan begini, beragkat ke kampus jadi lebih bersemangat.

Tepat pada pukul 07.30, setengah jam sebelum sidang saya sudah tiba dikampus dengan hati yang semakin degdegan luar biasa. Belum ada teman-temen yang datang. Tepat ketika saya dipanggil masuk ruangan Bungsu tergopoh-gopoh naik tangga, dengan gaya alay-nya dia memeluk seolah-olah saya sedang akan maju berperang. Di dalam ruangan, detik demi detik berlalu, dua puluh menit pertama saya bisa dengan tenang dan aman menjawab setiap pertanyaan penguji pertama, begitupun dua puluh menit kedua tidak terlalu beberbeda. Dua puluh menit ketiga dan keempat mulai banyak yang kacau, antara keinginanan agar sidang segera selesai dan rasa bersalah tidak bisa menjawab pertanyaan penguji sebelumnya dengan sempurna. Ya sudah, lagi-lagi hanya berdoa.

Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dengan revisi tanpa diuji lagi. Meski banyak revisi soal EYD dan tata bahasa tapi saya bahagia ketika keluar ruangan melihat wajah teman-teman terdekat. Epil dan Bungsu yang sudah ikut heboh sejak tahu saya akan sidang hari ini, Nur yang memilih bolos dari kursus menjahit, Fikri yang biasanya masih tidur jam segini, Indro yang memutuskan menunda kepulangan ke Bogor, Dyla dan Reski yang juga selalu memberrikan semangat, Tori yang baru kali ini mau dateng ke pendadaran, dan Fajar yang nekat datang dari Sragen hanya untuk 20 menit di depan ruang seminar. Aaaaaa terima kasih telah hadir dalam sidang saya, meski sidang saya hanya sidang biasa, meski sidang saya bukan tanpa revisi, tapi saya bahagaia ada kalian di hari penting saya. terima kasih 

Di Cinta Aku Berhenti Membacamu

Sudah, aku sudah lelah untuk membaca dan menafsirkan sikapmu selama ini. Nyatanya, bertahun kubaca,kuamati, kuteliti, kuanalisis, dan entah apa lagi istilah yang mewakili, nyatanya aku benar-benar tak mendapatkan jawaban atas soal yang selalu membuntutiku setiap waktu. Hingga kini, tak kuketahui apa maksudmu. Entah aku yang terlalu bodoh atau kamu yang terlalu pintar. Aku tak tahu. Meski ada isyarat yang menjadi pertanda, tapi sungguh aku pun tak berani mengartikannya sebagai apapun. Mungkin benar, aku terlalu pengecut untuk menafsirkan duniamu.

Aku tahu, aku seringkali salah membaca dan menafsirkan statusmu, twetmu, smsmu, kata-katamu, sikapmu, bahkan cintamu. Kini tak ada yang perlu kubaca dan kutafsirkan lagi darimu. Semua sudah sampai pada satu titik yang akan menjadi simpul. Maka di usia yang tak lagi remaja telah kuputuskan: di cinta, aku berhenti membacamu. Semoga itu pula yang kau lakukan untukku. Untuk kita.

12 Maret 2012
Diantara ingatan dan kerinduan yang berserak

Orang-Orang Poyek : Pertaruhan Idealisme Seorang Insinyur

img088

Judul : Orang-Orang Proyek
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 224 Halaman

Dewasa ini, idealisme menjadi barang mahal atau bahkan langka, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Di zaman yang serba edan ini, orang-orang yang masih memegang idealismenya dianggap sebagai seorang yang ‘kuna’ dan tak ‘tahu diri’. Hal itulah yang diangkat oleh Ahmad Tohari dalam novel “Orang-Orang Proyek”.

Novel yang memiliki tebal 224 halaman ini mengambil setting kondisi masyarakat pada masa Orde Baru (Orba). Secara garis besar, novel ini menceritakan pertaruhan idealisme seorang insinyur bernama Kabul. Kabul yang menjadi pimpinan proyek pembangunan sebuah jembatan itu adalah mantan aktivis kampus yang kritis, idealis dan memiliki keberpihakan kepada rakyat. Ilmu dan teori yang didapatkannya selama di bangku kuliah ternyata tidak bisa sepenuhnya diterapkan pada proyek yang sedang ia kerjakan.

Pembangunan sebuah infrastruktur selalu menjadi bancakan bagi orang-orang yang berkepentingan sehingga mengakibatkan tergerogotinya dana di sana-sini. Hal ini tentu saja berimbas pada mutu bangunan yang tidak layak. Dihadapkan dengan atasannya, Insinyur Dalkijo yang juga seniornya ketika di kampus membuatnya sering dicerca karena idealisme yang masih dipertahankannya. Insinyur Dalkijo yang sudah tobat melarat dengan cara meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemelaratan selalu menertawakan sikap yang diambil oleh Kabul dalam pembangunan jembatan.

Proyek jembatan yang akan dimanfaatkan sebagai puncak perayaaan ulang tahun Golongan Lestari Menang (GLM), golongan yang saat itu berkuasa, mempertaruhkan idealisme Kabul sebagai seorang insinyur yang memiliki keberpihakan kepada rakyat. Pada akhir pembangunan, ketika Dalkijo memutuskan untuk menggunakan besi-besi bekas sebagai material lantai jembatan, Kabul sudah tidak memiliki toleransi. Baginya, mundur dari pekerjaannya sebagai kepala proyek adalah pilihan yang paling tepat untuk mempertahankan idealismenya. Baginya, membangun jembatan yang baru dipakai setahun sudah rusak sama saja menghianati amanah rakyat.

Selain sarat akan nilai-nilai teladan, novel ini juga diwarnai dengan kisah asmara antara Kabul dengan sekretaris proyek bernama Wati yang disajikan dengan bahasa sederhana namun penuh makna. Novel ini menarik untuk dibaca, dengan bahasa ringan dan apa adanya Ahmad Tohari akan membuat kita semakin merindukan Kabul-Kabul lainnya untuk mengawal pembangunan di negeri tercinta ini.